Aku masih belum bisa menyebutkan namamu di sini. Namun aku selalu menyebutmu dalam bait-bait doaku. Terdengar begitu klise. Tapi aku tetap saja tak bergeming tiap kali menghela embun dalam sajak istikharahku. Merangkai kata pinta dalam munajat kepada Sang Pemilik Segala ketika langit gelap tanpa bintang yang jaraknya ribuan tahun cahaya. Atau malah saat bulan berpendar dengan senyum bisunya di ufuk sana. Saat aku bertemu air dari langit. Aku tatap cucurannya yang membasahkanku. Satu dua tiga..berkali-kali.. aku juga basah. Maksudku, pelupuk itu sudah tidak sanggup lagi membendung. Ada juga saat dimana aku harus berjalan sendiri di tengah keramaian. Aku heran mengapa benakku akan bertanya-tanya. Adakah seseorang yang aku harap berjalan di sampingku, menggenggam erat dan menarik tanganku barangkali aku tersesat. Juga kerap jantungku tergelitik oleh sebuah rasa yang menjanjikan keakraban. Itu saat-saat aku hanyut di tengah samudera dan melihat sepertinya ada sebuah kapal yang hendak menepi. Aku ingin ke dermaga itu bersamanya.
Sama-sama dalam satu bumi Allah, sama-sama menyebutkan keinginan masa depan dan sama-sama menyadarinya. Yang beda adalah aku kaum Hawa sementara kamu adalah kaum Adam. Sejenak biar kugabungkan; K I T A. Kata ini merupakan hal manis yang aku dan kamu tunggu-tunggu, bukan? Aku dan kamu, ya kamu!
Baiklah, ini bukan untuk aku sendiri. Bukan juga untuk kamu
sendiri. Kita adalah dua hakikat yang melebur membentuk makna tersendiri
dan lebih luas artinya. Jika aku atau kamu hanyalah egoisme hasil bentukan
masa lalu, K I T A adalah lunturan dari egoisme di masa lalu yang sekarang sedang
osmosis. Belajar pelajaran, mengerti pengertian, bersiap mempersiapkan kualitas
terbaik untuk masa depan. “Your past doesn’t decide your future, Allah does.” That’s
trully right. Masa depan dalam arti kata sempit saat ini adalah dimana KITA
disatukan Allah Ta’ala, Rabb Semesta Alam dengan suatu ikatan kuat hingga
menggetarkan arsy-Nya; Mitsaqan Ghaliza. Genaplah separuh agama. Semua bernilai
ibadah sekalipun kita hanya saling menatap. MasyaAllah..
Aku yang selama ini bersandar dengan kekuatan dari-Nya, lantas
tersentak akan sesuatu. Kuat saja belum cukup untuk membangun apa-apa. Sampai detik
ini, ya aku rasa aku masih bermimpi. Dalam lamunan panjang itu banyak sekali
yang tergambar. Warna-warni suka cita, duka dan asa yang lebih dari sekedar
bunga tidur. Ada kalanya aku ingin di bangunkan oleh seorang pangeran. Yang akan
menyadarkanku bahwa hidup tak sekelat mimpi buruk namun lebih istimewa daripada
sekedar mimpi indah. Bangunkan aku dan kita bangun mimpi-mimpi bersama. Gimana?
Kemarin aku masih bercerita tentang seharusnya begini begitu,
aku kadang lupa solusi itu bukan atas kemauanku atau kemauanmu saja. Ya, semua
mesti tentang KITA. Allah tidak membedakan makhluk-Nya melainkan berdasarkan
ketaqwaan. Nah. Walaupun nanti nahkodanya adalah kamu, tapi bukankah kemana
kita akan berlayar itu merupakan pilihan yang harus kita rembukkan?
Nanti kita memang bersatu tapi tetap ada masa dimana aku
adalah hamba Allah yang harus patuh pada-Nya. Tugasku sebagai istrimu seiring
dengan penghambaanku pada-Nya. Salah satu bentuk penghambaanku itu adalah tetap
patuh padamu walaupun bilamana kamu tidak patuh pada Allah. Namun, jika hanya
aku yang menghamba pada-Nya. Kita tak kan meraih surga bersama. Jadi, patuhlah
kepada Allah dan Rasul-Nya apapun yang terjadi, aku akan semakin erat padamu
dalam doa yang menguatkan. Dunia akan segera berakhir setelah beberapa masa
perjalanan kita nanti. Berharaplah kepada Allah karena ada hari dimana tanpa
naungan kita akan binasa. Namun ada naungan yang akan diberikan kepada dua
orang yang saling mencintai karena Allah, dipersatukan karena-Nya dan
dipisahkan oleh-Nya pula. Jadilah kita yang dinaungi itu. Agar tiada sesal di
akhirat sana.
Nuraniku meminta izin untuk bertanya lagi, kapan kita akan
bersua? Aku pernah menjawab dengan sombongnya, tahun depan, tahun ini, bulan
depan, bulan ini, setelah ini, sehabis itu, lusa atau besok. Aku bertaubat dari
kesombongan yang pada dasarnya aku tidak inginkan itu terjadi. Bahkan detik
selanjutnya setelah menulis surat ini pun aku tak tahu apakah Allah masih
berkenan memberikanku napas. Malaikat maut 70 kali mengintaiku setiap hari. Sedang
aku begitu angkuh pada khayalanku. Pada nafsu yang mengatasnamakan cinta. Aku sungguh
bertaubat dan tidak ingin mengulanginya lagi. Aku benar-benar tidak punya
kapasitas untuk mengatakannya. Sampai saat itu terjadi. Saat kita sama-sama
menarik oksigen dengan berat dan semua orang di ruangan itu bilang “saaahhh”,
lalu kita hembuskan kanbondioksida dengan lega. Akhirnya, saat itulah aku baru
bisa menulis namamu besar-besar memakai font terbesar yang ada. Atau jika kamu
mau aku sebarkan di seantero jagad namamu dan kisah cinta kita.
Saat ini aku terharu, betapa Allah sangat menyayangiku. Dia
beri aku kesempatan untuk meraih puncak hingar bingar dan sanjungan. Lalu bisa-bisanya
aku terjatuh pada jurang nista kebodohan dalam waktu singkat. Kemudian aku
menemukan sesuatu di bawah sana yang bernama pelajaran berharga. Itu hal yang
sangat mendewasakanku. Walau kadang aku tersudut kembali menjadi anak kecil. Kemudian
lupa ingatan. Pelajaran itu mau tidak mau telah membuatku berpikir. I am such a
“really nothing”. So much things I need to learn. Ya, jika hal tersebut tidak
ada mungkin aku tak kan pernah bertemu denganmu nanti. Segala sesuatu tentu
telah dicipta Sang MahaAgung dengan profesionalitas tingkat tinggi tak
terbantahkan. Nothing to lose. Tiada satu hal pun yang luput untuk disyukuri. That’s
meaningful. Kini, yang bisa terucap hanyalah Alhamdulillah.
Dan, hidup ini adalah untuk bersabar. Allah telah bertanya
pada kita, apakah kita akan masuk surga padahal belum jelas orang-orang yang
berjihad dan orang-orang yang sabar itu? Semoga termasuklah kita kedalam golongan
orang-orang yang berjihad (setidaknya) melawan hawa nafsu kita dan bersabar
atas berbagai cobaan dan ujian. Tak selamanya cobaan/ujian itu berbentuk
kepayahan. Sering malah cobaan itu berbentuk kesenangan. Jangan sampai kita
tergelincir setelah Allah selamatkan.
Dalam waktu-waktu mustajab ini, bulan Ramadhan 1437 H, mari
kita sama-sama songsong keinginan itu dengan ikhtiar yang lebih besar dan doa
yang lebih panjang x lebar serta sedetil-detilnya. Lebih dari itu kita
munajatkan pada malam yang kita nantikan yakni Lailatul Qadar. Tidak ada yang
tidak mungkin. Jika Allah menghendaki. “Kun!” Maka terjadilah… Terimakasih
telah memperjuangkanku, niscaya aku akan selalu mempertahankanmu.
Comments
Post a Comment