ARA. Seorang gadis berperawakan sederhana.
Berwajah polos dan sendu. Wajahnya tidak putih tapi tidak juga gelap. Kadang
sering merona. Bila pancaran sinar matahari datang, mukanya akan berseri
memantulkan cahaya kehangatan. Senyumnya selalu tertanam dalam suka maupun
duka. Tubuhnya tidak berbobot besar tapi tidak pula terlampau kecil. Semua yang
ada padanya serba sederhana dan sekilas biasa saja. Di sisi lain gadis berusia
19 tahun itu terlihat cantik karena jilbab rapi dan rok yang senantiasa
menemani harinya kemanapun ia pergi. Pakaian yang ia kenakan pun tidak
berlebihan. Semua disesuaikan dengan kondisi dan keperluan. Suatu hal yang
menarik adalah ia bisa tampil elok dan apik dimana saja. Tidak ada seorang pun
yang mengetahui bahwa begitu banyak lara yang bergelayut dalam jiwanya.
Pundaknya yang kecil seakan tak kuat menahan beban itu. Tapi lagi-lagi
kesabaranlah yang tiada pernah habis dalam dirinya. Semangatnya tersiram dari
doa-doa dan terpupuk oleh amal-amal ibadahnya yang terus dilakukannya dengan tulus
hati. Di usia yang belum matang ia harus bersikap dewasa. Begitu banyak cobaan
dan ujian menerpanya. Namun ia tetap kuat bahkan lebih kuat dari karang yang
selalu diterjang ombak. Karang akan rapuh dan hancur bila dihempas ombak terus menerus, tapi bedanya, Ara tidak
pernah rapuh dan hancur jiwanya. Ia semakin tegar menghadapi segala jenis
keterpurukan yang tergurat sebagai takdirnya.
Mengetahui
bahwa ia harus kembali ke kampung halamannya dan tinggal lagi bersama orang
tuanya yang broken home, ia menerimanya. Walaupun hidup bersama nenek dan kakek
baik-baik saja tapi tetap saja ada rindu terhadap Ibu, Ayah dan Kakaknya. Ia
antusias berharap orang tuanya kini lebih dewasa dan bisa mengatasi masalah
mereka dengan kepala dingin dan saling menghargai satu sama lain. Minimal lebih
baik dari pada beberapa waktu silam saat Ara harus diasingkan agar masalah
study Ara tidak terganggu. Sebenarnya Ara tahu bahwa Ayah masih ada main dengan
wanita lain. Ia sering melihat gelagat yang tidak baik dan beberapa bukti lain.
Ayah sering pulang larut tanpa alasan yang jelas. Setiap bertemu Ibu mereka
bertengkar, saling memaki, bercarut-marut dan kadang membanting apa saja
tampak. Ara miris. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan semua serba salah.
Seperti memakan buah simalakama. Tak jarang Ara meneteskan airmata. Ia
selalu berharap Ayah mau mengubah
sikapnya dan menjadi kepala rumah tangga yang baik bagi keluarga, ayah yang
baik bagi Ara dan Kak Ira.
Kamis
malam usai Ara membaca surat Yassin, Ayah pulang dalam keadaan mabuk dan masuk
ke rumah tergesa-gesa. Ayah langsung menuju meja kerjanya dan membongkar isi
laci. Semua jadi berhambur dan bernatakan tak terkira. Setelah itu Ayah berlalu
dan pergi lagi. Ara membereskan semua file-file dan menyusunnya. Saat itulah ia
jadi tahu bahwa ternyata semua file-file itu merupakan daftar hutang dan
tagihan kredit Ayah. Surat-surat itu adalah pernyataan bahwa perusahaan Ayah
sedang krisis berat. Ayah bangkrut. Ara bertambah pilu sedih dan terhenyak
sesaat. Betapa malangnya hidup ini. Tapi ia mencoba mengendalikan segala bentuk
gundah galau berkepanjangan. Ia memikirkan bagaimana cara membayarnya. Sayang
sekali tabungannya sudah habis karena membeli buku sebulan yang lalu. Ia tidak
pernah meminta uang. Semua ia upayakan dari hasil keringatnya sendiri. Namun
Ibu yang selalu memaksa Ayah menafkahinya. Setidaknya memberikan uang saku
baginya. Hanya harapan-harapan yang terukir dalam tetesan airmata Ara disetiap
sujudnya.
“Hei
kau! Cepat belikan aku nasi ramas!” kata Kak Ira dengan nada gusar sambil
memainkan tombol remot TV.
“Kak,
tadi kan Ara udah masak. Jadi kakak makan yang ada saja ya?” jawab Ara sambil
berpikir bahwa uang sangat langka dan harus benar-benar berhemat.
“Aku
gak peduli, beli sana nasi ramas! Cepat! Masakan kau tak enak!” kak Ira kembali
menyuruh, kali ini sambil memukul Ara yang ada di depannya.
“Aduh.
Kak, tolong makan nasi di rumah saja ya? Lagi pula Ara mau nyuci, ngepel, dan
nyetrika.” Timpalnya berharap Kak Ira mau mengerti.
“Aaarrrggghhh
kau ni pelit!” kak Ira mendorong Ara dan pergi berlalu.
Ara
mengelus-elus dada. Butiran airmata lepas mengalir begitu saja. Ia usap dan
kembali mengerjakan pekerjaan rumah. Dalam hati ia harus bisa menerima
bagaimanapun kelakuan Kak Ira. Saudaranya itu menderita kelainan mental.
Sikapnya cuek, emosian dan labil. Sedikit-sedikit ia berkelakuan seperti
anak-anak dan mengesalkan. Ia yakin Kak Ira sendiri juga tidak mau terlahir
begitu. Harapan, doa dan kesabaran. Semoga Kak Ira setidaknya mau mengerti
keadaan keluarga saat ini dan meminimalisir beban lain.
Sedari
tadi Ara membereskan rumah hingga ia lupa makan. Ibu belum pulang juga. Ia
makan makanan seadanya. Beberapa waktu kemudian Ibbu pulang dengan wajah pucat
pasi. Ara kaget. “kenapa Bu?” tanda tanya mengelilingi kepalanya. Ibu sama
sekali tidak menatap Ara. Tapi Ibu menjelaskan semuanya. Ibu menderita kanker
usus dan harus segera dioperasi. Ternyata rasa sakit yang membuat Ibu
muntah-muntah dan tidak enak makan apapun adalah karena penyakit itu. Ada
sesuatu dalam usus Ibu yang harus segera dikeluarkan lewat operasi agar tidak
bertambah parah. Mendengar penjelasan itu seperti ada benda langit yang jatuh
ke kepala Ara dan menghujam seluruh tubuhnya. Ia sedih sekali. Mengetahui Ibu
menderita penyakit separah itu. Ia kembali pasrah dan tawakkal kepada Allah. Ia
juga menasihati Ibu agar sabar menjalani semuanya.
Operasi
butuh waktu yang cukup lama. Satu pekan Ibu di rawat inap di rumah sakit umum.
Ara yang menjaga Ibu, menyuapi, mengelapi tubuhnya, membersihkan kotoran dan semua
yang dibutuhkan Ibu. Ia telaten mengurus Ibu. Ia merasa betul-betul memang
sekaranglah saat tepat untuk mengabdi penuh pada ibu. Ia teringat semua
kebaikan Ibu saat ia masih kecil dulu. Ibulah wanita yang selalu ada untuknya.
Menggendongnya, menyusuinya, memandikannya, memanjakannya dan memberikan yang
terbaik yang dimiliknya. Segala yang ia lakukan sekarang tidak ada apa-apanya
dibanding susah payah Ibu saat melahirkannya ke dunia fana ini.
Pagi
yang cerah saat Ibu tiba di rumah setelah terkungkung di rumah sakit. Ara
sengaja telah merapikan rumah agar Ibu lebih nyaman dan sedikit terhibur. Namun
beberapa tempat kembali dibombardir oleh Kak Ira. Dibuatnya berantakan lagi.
Setibanya di tempat tidur Ibu tersenyum dan merasa lega. Maklum di rumah sakit
tidak selapang di rumah karena Ibu tidak bisa dapat ruang di atas kelas 2
apalagi VIP. Semua oleh faktor dana.
Ara
berpamitan kepada Ibu. Ia mencium tangan Ibu dan kedua pipi Ibu seperti biasa
setiap akan pergi. Hari ini UAS tiga mata kuliah dan tidak etis kalau Ara Izin
lagi. Jadi ia dengan berat hati meninggalkan Ibu di rumah berdua saja dengan
Kak Ira. Jam dinding menunjukkan pukul 07.05 WIB. Ara telah menyiapkan sarapan
untuk Ibu.
Kak
Ira bangun dalam keadaan lapar. Tidak ada makanan sarapan untuknya di meja
makan. Ia mengamuk, berang dan marah-marah di hadapan Ibu. Bukannya Ibu tidak
mau memberikan makan. Kak Ira sudah bisa memasak. Seharusnya ia bisa memasak
telur atau apa untuk dirinya sendiri. Tetapi ia tidak mau tahu dan mencaci maki
Ibu. Kak Ira mendorong Ibu sangat keras. Dan kontan Ibu terjatuh. Bekas jahitan
Ibu berdarah-darah. Ibu menangis menahan sakit tak terperi. Untungnya Ibu masih
bisa merangkak ke depan. Kak Ira ketakutan dan kabur. Ada tetangga yang lewat
melihat Ibu dan langsung menyelamatkan Ibu. Akhirnya Ibu dibawa lagi ke rumah
sakit. Ara pun ditelpon agar segera datang usai UAS. Ia datang sambil berlari
dengan airmata bercucuran. Terus berdoa dan berharap Ibu selamat. Ibu
pendarahan serius dan butuh sangat banyak darah. Ara mendonorkan darahnya
karena daam keluarga hanya dia yang sama golongan darahnya dengan Ibu. Pasca
mendonorkan darahnya Ara panik namun terus berzikir. Ia samapi lupa makan.
Sisa-sisa harapan itu masih bergenang di pelupuk matanya. Mulutnya masih
berkomat-kamit memohon Rahman dan Rahim-Nya.
Ibu
masih belum sadarkan diri. Banyak saudara Ayah dan Ibu berdatangan. Mereka
menasihati agar Ara tetap sabar dan ikhlas apapun yang terjadi. Semua adalah
kehendak Allah. Kita hanya hamba-Nya yang kerdil lagi hina. Tawakkal. Tawakkal.
Tawakkal ilallah. Mereka meminta Ara pulang, shalat Ashar, makan, mandi baru
kembali lagi ke rumah sakit. Mereka yang akan menunggu Ibu selagi Ibu belum
sadar. Ara menurut. Ia pasrah dan berharap lagi kepada Allah agar Ibu segera
siuman dan kembali sehat seperti sedia kala. Ia titip Ibunya dan pulang.
Setibanya
di rumah Ara sangat lemas, wajahnya pucat pasi, sedari tadi belum makan dan
tubuhnya pun lunglai. Kepalanya terasa sangat berat. Dilihatnya Kak Ira masih
asik menonton TV sambil makan. “Kak, Ibu sakit lagi. Doakan biar Ibu segera
sembuh ya!” kata Ara sebelum masuk kamar. Ia mandi, mengambil wudhu dan shalat
Ashar. Badannya sudah tidak bisa dikendalikan. Ia ambil posisi tiduran. Usai
shalat ia memejamkan mata di tempat tidur. Kak Ira menendang-nendang pintu
kamar yang tidak dikunci itu. Ia marah-marah kepada Ara tanpa alasan yang masuk
akal. Ara diam saja. Tidak sama sekali bergeming. Bergetarpun tidak. Kak Ira
mengguncang tubuh Ara. Tapi tiada respon. Ia pergi dan mengata-ngatai Ara
tukang tidur. Padahal Ara sudah tidak bernapas lagi dan tidur untuk selamanya
setelah sebongkah batu harapan jatuh kepadanya yaitu harapan bahwa ia akan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat.
Syahara Niyya
Mahasiswi UIN SUSKA RIAU
Jurusan Bahasa Inggris
Pengurus FLP Pekanbaru
Wartawan LPM Gagasan
Comments
Post a Comment