Semilir angin malam Sabtu
nan galau berdesah dengan segala kegundahan Kiyara Maisha, gadis manis berkaos
lengan pendek warna abu-abu gambar teddy bear dan celana trainning panjang
warna hitam bergaris putih di pinggirnya. Ia duduk dengan kaki ditekuk, di sofa
ruang tamu rumahnya sambil memandangi secarik kertas putih dengan beberapa
goresan letter warna hitam dan sebuah cap berwarna biru di bawahnya. Itu adalah
surat undangan untuk study abroad ke University of London. Hal yang diimpikannya
selama ini. Tiga hari lagi ia sudah harus meninggalkan bunda di Indonesia dan
terbang ke negeri Manchester United tersebut.
“Naak,, ada apa? Dari
tadi bunda lihat kamu kok menung-menung sendiri?” Elusan tangan bunda di kepala
Kiya mengejutkannya.
“Ehhh bunda, gak
apa-apa bun. Kiya cumaa... kiya nanti pasti kangen banget sama bunda.”
“Bunda sebenarnya berat
hati melepaskanmu pergi.”
“Tapi kan..”
“Iya.. bunda juga
pingin kamu sukses dan meneruskan cita-cita bunda kesana nak.”
“Mmm...”
“Ya sudah... bunda
ikhlas kamu berangkat. Tapi janji ya belajar yang bener jangan macem-macem di
sana.”
“Hehehe bunda. Iya
pastinya Kiya bakal belajar yang bener dan saat itu insyaAllah akan tiba. Bunda
dateng ngedampingin Kiya pas Kiya wisuda di London. Kiya mau buat bunda bangga.
Nanti Kiya pakai toga itu. Kiya akan berusaha untuk cumlaude biar bunda seneng.
Nanti nama bunda dipanggil untuk maju ke atas panggung. Trus Kiya pidato di
hadapan temen-temen. Setelah bersyukur kepada Allah, Kiya akan bilang ini semua
berkat bundaku tercinta dan toga ini buat bunda.” Hayal Kiya panjang lebar sembari
memeragakan apa yang dikatakannya.
“Sayang, kamu ini
ngayal tinggi amat sih. Kamu bisa kuliah di sana aja bunda udah bangga kok.
Sekarang baiknya kamu istirahat. Besok ada workshop kan?”
“Iya bun. Workshop
tentang study abroad ini. Kiya diminta untuk jadi pembicaranya. Yah itu buat
nyemangatin adik-adik SMA almamater kiya.”
Bunda mengangguk dan
berlalu. Kiya sendiri lagi. Ia menatapi seantero ruang tamu. Tidak begitu luas
namun tidak terlalu sempit. Pas-pasan. Bercat kuning memudar. Dengan lampu
putih bergelayut di tengah langit-langit ruangan. Ada 2 lukisan bunga. Foto
keluarga yang sedikit berdebu. Sofa-sofa coklat yang warnanya sudah usang itu,
mengingatkan Kiya pada AYAH.
Dulu ayah sepulang
kerja selalu duduk di situ dan bersenda gurau dengan Kiya. Menanyakan PR atau
mendengar Kiya bercerita tentang apapun tak terkecuali tentang teman-temannya
di sekolah.
~flash back~
“Ayah pulang.. bunda,,,
ayah pulang...” dari pintu Kiya berteriak girang.
“Assalamualaikum” sapa
ayah sambil mencolek hidung putri kecilnya.
“Waalaikumsalam” sahut
bunda dari dalam.
“Ayaaahhhh” Kiya selalu
mencium tangan ayah sepulang kerja.
“Iyaaa nak, bagaimana
sekolahnya tadi?” dengan wajah lelah yang dipaksakan senyum, ayah duduk di sofa
pertama dari pintu. Tepat di depan jendela berteralis besi.
“Tadi Kiya disuruh maju
sama bu guru, Yah. Kiya disuruh ngerjain soal matematik. Itu sih gara-garanya
si Abel gak bisa ngerjainnya, Yah. Tapi Kiya bisa donk. Kata Ibu Guru jawaban
Kiya benar. Ibu bilang Kiya pintar. Hehehe” Kiya cerita dengan bangga dan
terkekeh.
Waktu itu gigi depannya
belum tumbuh. Karena dua hari sebelumnya gigi susunya tanggal. Iya nyengir dan
terlihat lucu sekali. Di tambah pipinya yang masih chubby.
“Anak ayah harus pintar
donk. Sini sayang ayah dulu.” Ayah meraih Kiya. Mencium jidatnya.
Ayah memeluk tubuh
kecil Kiya yang lucu dan masih lugu itu. Rambut panjang diikat dua dan berpita
merah jambu. Kiya sangat senang ketika ayah memeluknya dan kadang menggelitikinya
sampai ia tertawa terkikik-kikik.
Kiya tersenyum. Masa lalu itu begitu indah. Sekarang seperti telah berlalu sejauh-jauhnya. Kiya tidak bisa lagi memeluk atau dipeluk ayah. Peristiwa tragis yang merenggut nyawa ayah saat itu memupuskan harapannya. Di balik rasa kecewa ada rasa sedih yang mendalam. Sedih tak terperi. Mengapa ayah meninggal di samping orang lain yang tidak jelas siapa dan apa statusnya dengan ayah. Mengapa ayah pergi meninggalkan bunda waktu itu. Mengapa semua itu terjadi. Sungguh ironis. Tak pernah sedikitpun ia membayangkan hal ini. Ayah yang begitu ia cintai. Tulus.
Jarum jam dinding bulat berwarna hitam di ruangan itu menunjukkan pukul 11.15 WIB. Kiya meliriknya namun tidak ngeh. Pikirannya masih di awang-awang. Masih membatin. Masih dengan pertanyaan mengapa ayah pergi secepat itu. Mengapa ia tidak sempat bertanya kemana ayah pergi sebulan terakhir itu. Ia tidak sempat mengatakan bahwa Kiya akan kuliah di luar negeri. Bahkan untuk segala kebanggaan lain yang telah Kiya dapatkan. Ia bahkan tidak sempat mencium tangan ayah untuk terakhir kalinya. Hatinya bergejolak. Menahan rasa kesal. Menyesal. Muak. Sedih. Kecewa. Pilu. Gondok. Ada sesuatu yang ingin di keluarkannya. Tapi seakan tertahan. Ia tidak ingin menangis. Tapi ada rasa rindu yang teramat pada ayah. Apapun kesalahan ayah. Beliau adalah cahayanya yang dulu selalu mengajarinya kebijaksanaan. Ketegaran dan kedamaian. Dulu sebelum ayah menghilang. Sebelum ayah ada masalah dengan bunda. Sebelum ayah terkubur. Terkubur bersama mimpi dan cita-cita kiya. Terkubur ke dalam perut bumi bersama kesalahannya. Jauh di kehidupan kecil Kiya dahulu.
Di satu pojok ruang tamu, di atas meja kaca segiempat, ia pandangi sebuah piala yang bersanding dengan tiga piala kecil lainnya. Rangking 1 atas nama Kiyara Maisha. Itu piala pertama yang Kiya dapatkan sewaktu kelas 1 sekolah dasar dan ayah sangat bangga dengan Kiya atas piala itu. Ayah bilang kalau ayah sayang Kiya dan Kiyalah harapan ayah yang slalu ayah banggakan di mana-mana sekalipun di kantor. Kiya adalah princess kecil ayah. Segalanya buat ayah. Ayah membelikan Kiya apapun dan sebagai hadiah ayah membelikan Kiya sepeda baru yang paling mahal waktu itu karena Kiya mendapatkan Rangking 1. Sepeda pink dengan box di depannya itu kini memang sudah rongsok warnanya pudar, berkarat dan sudah di taruh di gudang. Tapi kata-kata ayah masih terngiang. Tidak pernah berkarat, apalagi rongsok. Masih jelas terekam oleh Kiya. Dalam hati kecil Kiya tetap dan terus berjanji menjadi princess kecil ayah yang selalu ayah banggakan.
Mengingat tiga hari lagi ia akan pergi ke London, ia sedih tidak ada ayah yang akan mengantarkannya ke bandara. Tidak ada pelukan dan kebanggaan dari seorang ayah. Jauh di dalam hati sana, ada rasa yang bergumam, berteriak, namun tertahan terus tertahan. Kiya menarik napas panjang dan mengeluarkannya. Sesak. Tetap saja berat. Jendela ruang tamu masih terbuka, gordyn biru itu tertiup angin malam yang keras dan dingin. Angin malam itu juga menerpa rambut panjang gadis berperawakan semampai berusia 20an. Ia tutup jendela ruang tamu lantas mematikan lampu. Ia berjalan lewat lorong menuju kamarnya. Sekian belas tahun terpajang foto-foto masa lalu Kiya, ayah dan bunda. Ceria, penuh suka cita. Kiya tersenyum dan menghela airmata di pipi. Meneruskan langkahnya.
~~~
Semburat jingga pada langit biru pekat, sepekat warna nappy, pagi itu, adzan telah selesai berkumandang bersahut-sahutan tertanda waktu subuh tiba. Bunda sudah basah oleh wudhu. Usai shalat beliau membuka jendela dan mematikan lampu teras. Lantas ke kamar Kiya dengan masih menggenggam tasbih hitam yang terbuat dari kayu manis, wanginya khas. Ternyata Kiya bangun lebih awal dari bunda. Rupanya ia sedang berdoa. Bermunajat. Mulutnya masih berkomat-kamit. Bergetar mengagungkan Sang Mahapencipta. Bunda tak bersuara. Beliau tutup kembali pintu kamar Kiya. Nampaknya Kiya mengetahui bahwa tadi bunda membuka pintu.
“Ada apa bun?” Kiya
menoleh.
“Bunda kira kamu belum
bangun nak.”
Kiya tidak menjawab.
Masih dengan posisi semula. Tangannya menengadah. Berbalut mukena putih di atas
sajadah merah maroon yang sedikit usang. Sajadah pemberian nenek, ibu dari ayahnya
4 tahun lalu. Sebulan sebelum nenek meninggal untuk selama-lamanya. Sajadah itu
masih bisa di gunakan. Justru sangat sering digunakan Kiya. Tepat di tempat di mana
Kiya sujud sudah berubah warna, pudar dan menipis. Gambar ka’bah di sentral
sajadah itu menjadi saksi bisu tiap kali Kiya sembahyang, shalat menghadap
Illahi.
Dalam doanya Kiya berharap
nanti bunda akan sehat-sehat saja sepeninggalnya ke London. Mengingat penyakit
bunda kemarin-kemarin sering kambuh. Ia benar-benar berharap bisa menuntaskan
studinya 3,5 tahun, kalau bisa secepat-cepatnya dan meraih cumlaude
universitas. Ia janji akan berusaha semaksimal mungkin. Demi cita-citanya. Demi
niatnya karena Allah. Demi dunia
kesehatan. Ia akan menjadi dokter. Ada bening yang mengalir di kedua
pipi Kiya nan kemerah-merahan. Bulir-bulir itu membasahi mukena putihnya.
Saking derasnya ia sesegukan. Jangan sampai bunda sakit lagi. Jangan sampai ada
apa-apa dengan bunda lagi.
رَبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَ الِدَيَّ وَ
ارْ حَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَا نِي صَغِيْرًا
Rabbighfir
lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa
Ya Allah,,,,
hamba serahkan semua pada-Mu. Hamba yakin Engkau akan melindungi bunda dan
mengasihi bunda lebih baik daripada yang hamba tahu. Sayangi bunda ya Allah...
hamba tidak bisa menjaga bunda seperti dulu bunda menjaga hamba di waktu kecil,
Semoga
engkau juga mengampuni ayah di alam sana. Permudah hamba nanti ya Allah..
lancarkanlah semuanya. Berikanlah hamba takdir yang sebaik-baiknya dari-Mu.
Karena Engkaulah sebaik-baik pencipta. Engkau yang Mahatahu apa yang terbaik
buat hamba-hamba-Mu....
Semangat senyum selalu ^_^
Selamat mewujudkan cita-cita!!!
♥Kiya keep going to be best♥
Tulisan berwarna hijau
tergurat di kertas note warna kuning dan tertempel di lampu belajar di atas meja
belajar kayu di pojok kamar yang berukuran 3mx3m di samping ranjang.
Kiya usai merapikan
hijab warna biru dongker lantas menggamit tasnya dan siap berangkat.
“Bundaaa, Kiya
berangkat dulu yaa...”
“Gak sarapan dulu
sayang?”
“Maaf bun, enggak
sempet... nanti ketinggalan bis. Assalamualaikum, daaaahh”
“Waalaikumsalam,,,hati-hati
ya, nak”
“Yaa bun...”teriaknya
dari pintu.
Bunda
hanya menggeleng kepala melihat putri semata wayangnya itu. Beliau melanjutkan
aktivitasnya menjahit pakaian. Banyak orderan akhir-akhir ini. Dan yang sudah
mendesak deadlinenya baju seragam SMP anak Bu RT.
Kiya naik bis yang
biasanya sudah penuh sesak. Ia jarang mndapati bis tersebut dalam keadaan sepi.
Bahkan untuk dapat tempat duduk saja jarang. 25 menit berlalu, tiba jua ia di
tempat workshop tepat waktu. Dilihatnya jam warna coklat di tangan kirinya
menunjukkan waktu kurang lebih 15 menit lagi acara akan di pindah alihkan
kebahagian ia untuk tampil. Ia sudah menyiapkan bahan untuk sharing pagi itu
beberapa malam sebelumnya. Ia sudah biasa berbicara untuk organisasi yang ia
geluti. Sehingga ia lancar berbicara di muka umum. Gadis berhijab ini juga
anggota aktif KSR(Korps Suka Rela) di kampusnya.
Waktu membatasinya
untuk sharing di depan adik-adik berseragam putih abu-abu itu. Mereka sangat
antusias mendengarkan Kiya. Ada kepuasan tersendiri menyampaikan kebanggaan
dapat undangan study abroad itu. Dan ia harap itu dapat memotivasi adik-adik
kelasnya agar dapat menyusul nanti.
Ponsel Kiya bergetar
Drrrrttt drrrttt
drrrrrtt....
085000201010
Received 21/12/2012 @ 10:24:23
Kiya
ini Bu Dela. Ada berkas yang belum ditanda tangani. Tolong segera ke kantor
untuk mengurus kelengkapan administrasi secepatnya ya.
Rupanya Bu Dela, sekretaris manajemen kemendikbud. Masih saja ada yang harus diurus. Padahal sudah H-2. Kiya pamit kepada panitia acara, guru-guru dan kepala sekolah yang hadir dalam acara tersebut. Seorang guru berjilbab putih bertubuh agak tambun berlesung pipi memeluk Kiya. Beliau adalah Bu Nengsih. Guru Biologi Kiya sewaktu SMA. Guru kesayangan dan ia pun diakui sebagai anak kesayangan. Sepertinya Bu Negsih enggan melepas Kiya. Beliau terharu dan bangga atas Kiya. Diiringinya Kiya dengan petuah-petuah layaknya orang tua kepada anaknya.
Kiya pun melambaikan
tangan pada semua yang mengantarnya termasuk security di pos dan menghilang
dari pandangan Bu Nengsih.
Hari ini sangat menyenangkan. Ia bersegera ke kantor untuk mengurus proses administrasi yang dipesankan oleh Bu Dela tadi. Kiya padahal ada janji ketemu Sinta sahabat karibnya siang ini di salah satu Mall untuk sama-sama mencari kado hari ibu buat bunda. Ia sudah berencana membelikan bunda baju dan sendal baru. Selama ini bunda selalu menjahitkan baju-baju cantik, tapi berhubung ia belum bisa menjahit, beli saja dulu pikirnya.
Proses administrasi beres.
Jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 12.15 WIB. Ia keluar dari gedung besar yang notabenenya kantor kemendikbud tersebut. matahari tepat di atas kepala dan hari ini cuaca panas sekali. Hijab biru dongkernya masih rapi menutupi kepala Kiya.
Di rumah bunda tiba-tiba berfirasat buruk. Ia tertusuk jarum berkali-kali.
Kiya menyebrang jalan yang padat arus kendaraan ibukota, bis sudah berhenti di halte. Sebuah mobil plat B 1 AN oleng melaju dari arah kirinya. Mobil tersebut di kendarai oleh seorang lelaki yang sedang menelpon dan karena kecerobohannya, ia tidak melihat Kiya yang sedang menyeberang jalan. Lelaki mudah itu mengerem mobilnya yang sangat laju tapi tetap tidak bisa menahan saking kencangnya tubuh Kiya terhempas, berguling-guling, jatuh jauh sekitar 7 meter dekat trotoar. Ia berlumuran darah. Untungnya pengemudi mobil tadi keluar dan hampir saja dy habis di keroyok masa. Orang-orang berkerumun. Kiya sudah tak sadarkan diri. Darah keluar dari luka-luka di dahi, tengkuk, tangan, kaki, dan lain—lainnya. ia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan si pengemudi tadi bersedia membiayai semua operasional rumah sakit Kiya.
“Bro, gilak gua nabrak orang nih. Sumpeh kaga sengaja. Tadi dia nyebrang jalan. Truss,, Aduuuhhhh tolong dateng kesini donk. Cepet yee sekarang!!!!” lelaki berkemeja kotak-kotak dan bawahan jins biru yg menabrak Kiya tadi menelepon dengan wajah pucat, panik, takut sampai bingung.
“Astaga. Elu baru
nyampe sini udah bikin masalah aja. Iya gue kesana sekarang.” Jawab suara di
ujung telpon.
Lelaki tadi mengambil
ponsel Kiya yg berbunyi, lalu menerima telpon dari Sinta:
“ha..haalllooo..” ia
gugup serta panik
“Kiya, kamu udah dimana?aku
udah di depan Mall”
“So,,ssorrryyy,, yang
punya hape ini tadi kecelakaan dan sekarang di UGD. Bisa kesini?”
“Apaaa??iya iya saya
kesana.”
Sinta datang dengan
tangis pecah, panik, bingung dan Kiya masih di ruang gawat darurat. Sinta
langsung mencoba menghubungi bunda. Tapi tidak diangkat.
“Hey bro gua disini!!”
teriak si lelaki berbaju kotak-kotak.
“Heyy Bian!!!” temannya
langsung setengah berlari menuju lelaki yang menabrak Kiya tadi. Namanya Bian.
Sinta tercengang. “Ka..kamu
DIMAS kan?”
“Bro lu kenal dia?”
“Iya dia Sinta. Temen SMA
gue.”
“Jangan-jangan lu kenal
juga sama orang yang gua tabrak tadi?”
“Maksud lu? Siapa?”
“Kiya.” Jawab Sinta.
Dimas kaget dan
langsung memukul sepupunya Bian. Plak. Bruk.
“Begoo lu Bian!!! Apa yang
lu lakuin!! Dia tuh.. aaaaaaaaaa”
“Gua kaga sengaja bro. Sumpeh!
Demi apapun sumpeh!”
“Gila tuh tolol!!! Damn!!!
Gue ga nyangka elu!!!!aaarrggghhhh!!!! plak. “
-adegan berkelahi-
-adegan berkelahi-
“Sudah... sudah....”
Sinta berusaha melerai
dan akhirnya semua tenang. Bunda berhasil dihubungi.
Ia datang
tergopoh-gopoh bersama para tetangga dan sanak saudara. Kiya sudah pindah
ruangan tapi masih koma.
Alat bantu kehidupan semua rapi terpasang.
Alat bantu kehidupan semua rapi terpasang.
Bunda benar-benar shock dan bercucuran airmata. Putri semata wayangnya. Anak kebanggaannya. Yang besok lusa akan pergi ke London. Yang akan mengenakan toga. Lulus cumlaude. Sekarang tidak sadarkan diri. Sama sekali tidak berdaya. Semua tinggal harapan.
Halaman terakhir diary Kiya:
20-12-2012
Dear
diary,
How
wonderful today. I always thankful. Grateful. Whatever would be. And God
obviously gimmi this opportunity. Yey! my dream go to Europe gonna be trully. Be
a doctor and pride my mom.
Planning
besok:
1.join workshop
2.harus
beliin bunda baju baru. Mmm... dan sendal baru kalo uangnya cukup.
Maaf
banget deh bun, sebenernya kiya mau jahitin baju, tapi kiya belum bisa gunain
mesin jahit bunda. kiya
love bunda. :)
Comments
Post a Comment