Sebagai muslim, tentu yang utama adalah mematuhi syariat Islam atau hukum Allah. Dalam pemerintahan di Indonesia saat ini tidak menggunakan syariat Islam seperti pada zaman Rasulullah, khilafah, dan tidak pula berlandaskan hukum Allah.
Sistem pemerintahan berdemokrasi. Itu bukanlah sebuah kebanggaan buat umat Islam. Karena umat Islam seharusnya menggunakan hukum Allah. Bukan demokrasi yang notabenenya hukum buatan manusia yang mana bertajuk dari rakyat - oleh rakyat - untuk rakyat.
Namun keterlanjuran kita lahir sebagai warga negara Indonesia kini yang menganut paham demokrasi tersebut membuat kita wajib menghargai pemerintahan dan kepemimpinan yang ada. Karena dalam Islam kita harus taat pada Allah, Rasulullah dan Ulil amri. Makna ulil amri yakni pemerintahan. Sebagaimana Kalamullah berikut:
Surah An-Nisā: 59 - "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. "
Walaupun tidak berlandaskan hukum Allah, pemimpin di suatu wilayah tepatnya buat kita saat ini di Indonesia, harus di taati selama hukum-hukum yang berlaku tidak menyalahi hukum Allah.
Kita harus bersyukur masih dapat melaksanakan kewajiban kita sebagai muslim dan menyelenggarakan kehidupan kita sebagai umat Islam dengan baik di Indonesia ini.
Memang kita juga harus bersabar saat isu Islamophobia, kriminalisasi Ulama dan perbedaan khilafiyah masih banyak terjadi.
Bukan hanya hal-hal di atas tapi banyak sekali problem umat Islam yang harus dihadapi. Kita telah melalui berbagai bentuk pemerintahan oleh para wakil rakyat di parlemen maupun presiden. Namun untuk negara yang di dominasi Umat Islam ini, akan lebih baik jika kita memiliki pemimpin dan pemerintahan yang mendukung diberlakukannya peraturan daerah yang diambil dari syariat Islam walaupun belum bisa sepenuhnya menerapkan secara menyeluruh (kaffah).
Menyinggung soal pemilihan umum (pemilu) 2019 untuk menentukan presiden dan anggota legislatif tanggal 17 April ini, kita sebagai umat Islam tentu harus bersikap bijak. Bijak dalam menentukan pilihan. Pilihan untuk memilih atau tidak memilih (golput). Pilihan siapa yang akan dicoblos.
Pada tulisan ini, saya tentu menyampaikan bahwa kita sebaiknya memilih alias tidak golput karena suara kita dalam pemilu akan menentukan siapa yang akan duduk berkuasa sebagai pejabat yang akan menyuarakan program pemerintahan. Kembali ke awal tadi, kita akan memilih siapa yang akan menjadi "ulil amri" yang akan kita taati peraturannya.
Khususnya pada pemilihan presiden, karena calon nomor satu sudah pernah menjabat, maka pertanyakan pada diri apakah pemerintahan beliau sudah sesuai dengan prinsip kita sebagai umat Islam? Kalau calon nomor dua, lihat apa saja yang program yang ditawarkan beliau? Kita harus teliti memutuskannya.
Jika masih ragu, kita tidak boleh apatis. Di internet maupun sosmed ada video debat capres dan cawapres. Dari sana kita dapat melihat kapabilitas capres cawapres, cara orasi, bentuk kampanye, dan program yang ditawarkan oleh calon pejabat negara tersebut.
Jika kita masih belum dapat menentukan, coba tanya dengan orang yang shalih atau punya pandangan tentang hukum Allah berdasarkan Alquran dan sunnah. Diantara capres cawapres atau caleg yang baik pasti ada yang lebih baik. Yang dekat dengan orang baik akhlaknya. Jika dua-duanya buruk, pasti ada yang buruknya lebih sedikit. Dan pasti ada yang dekat dengan orang-orang yang buruk akhlaknya. Tentunya orang shalih dan baik akhlaknya akan memilih capres cawapres caleg yang dekat dengan orang-orang yang baik akhlaknya apalagi beliau didukung oleh partai yang banyak menyuarakan nasib umat Islam bahkan ulama.
Sekedar wejangan, jika capres cawapres caleg yang menjadi pilihan kita didukung oleh partai atau orang-orang yang tidak menyuarakan Islam atau nilai-nilai yang jauh dari syariat Islam, maka jangan coblos. Pilihlah yang menyuarakan syariat Islam dimana keadilan adalah prioritas utama.
Sistem pemerintahan berdemokrasi. Itu bukanlah sebuah kebanggaan buat umat Islam. Karena umat Islam seharusnya menggunakan hukum Allah. Bukan demokrasi yang notabenenya hukum buatan manusia yang mana bertajuk dari rakyat - oleh rakyat - untuk rakyat.
Namun keterlanjuran kita lahir sebagai warga negara Indonesia kini yang menganut paham demokrasi tersebut membuat kita wajib menghargai pemerintahan dan kepemimpinan yang ada. Karena dalam Islam kita harus taat pada Allah, Rasulullah dan Ulil amri. Makna ulil amri yakni pemerintahan. Sebagaimana Kalamullah berikut:
Surah An-Nisā: 59 - "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. "
Walaupun tidak berlandaskan hukum Allah, pemimpin di suatu wilayah tepatnya buat kita saat ini di Indonesia, harus di taati selama hukum-hukum yang berlaku tidak menyalahi hukum Allah.
Kita harus bersyukur masih dapat melaksanakan kewajiban kita sebagai muslim dan menyelenggarakan kehidupan kita sebagai umat Islam dengan baik di Indonesia ini.
Memang kita juga harus bersabar saat isu Islamophobia, kriminalisasi Ulama dan perbedaan khilafiyah masih banyak terjadi.
Bukan hanya hal-hal di atas tapi banyak sekali problem umat Islam yang harus dihadapi. Kita telah melalui berbagai bentuk pemerintahan oleh para wakil rakyat di parlemen maupun presiden. Namun untuk negara yang di dominasi Umat Islam ini, akan lebih baik jika kita memiliki pemimpin dan pemerintahan yang mendukung diberlakukannya peraturan daerah yang diambil dari syariat Islam walaupun belum bisa sepenuhnya menerapkan secara menyeluruh (kaffah).
Menyinggung soal pemilihan umum (pemilu) 2019 untuk menentukan presiden dan anggota legislatif tanggal 17 April ini, kita sebagai umat Islam tentu harus bersikap bijak. Bijak dalam menentukan pilihan. Pilihan untuk memilih atau tidak memilih (golput). Pilihan siapa yang akan dicoblos.
Pada tulisan ini, saya tentu menyampaikan bahwa kita sebaiknya memilih alias tidak golput karena suara kita dalam pemilu akan menentukan siapa yang akan duduk berkuasa sebagai pejabat yang akan menyuarakan program pemerintahan. Kembali ke awal tadi, kita akan memilih siapa yang akan menjadi "ulil amri" yang akan kita taati peraturannya.
Khususnya pada pemilihan presiden, karena calon nomor satu sudah pernah menjabat, maka pertanyakan pada diri apakah pemerintahan beliau sudah sesuai dengan prinsip kita sebagai umat Islam? Kalau calon nomor dua, lihat apa saja yang program yang ditawarkan beliau? Kita harus teliti memutuskannya.
Jika masih ragu, kita tidak boleh apatis. Di internet maupun sosmed ada video debat capres dan cawapres. Dari sana kita dapat melihat kapabilitas capres cawapres, cara orasi, bentuk kampanye, dan program yang ditawarkan oleh calon pejabat negara tersebut.
Jika kita masih belum dapat menentukan, coba tanya dengan orang yang shalih atau punya pandangan tentang hukum Allah berdasarkan Alquran dan sunnah. Diantara capres cawapres atau caleg yang baik pasti ada yang lebih baik. Yang dekat dengan orang baik akhlaknya. Jika dua-duanya buruk, pasti ada yang buruknya lebih sedikit. Dan pasti ada yang dekat dengan orang-orang yang buruk akhlaknya. Tentunya orang shalih dan baik akhlaknya akan memilih capres cawapres caleg yang dekat dengan orang-orang yang baik akhlaknya apalagi beliau didukung oleh partai yang banyak menyuarakan nasib umat Islam bahkan ulama.
Sekedar wejangan, jika capres cawapres caleg yang menjadi pilihan kita didukung oleh partai atau orang-orang yang tidak menyuarakan Islam atau nilai-nilai yang jauh dari syariat Islam, maka jangan coblos. Pilihlah yang menyuarakan syariat Islam dimana keadilan adalah prioritas utama.
Thanks For sharing ukh ��
ReplyDeletemy pleasure ukh :)
Delete