Tidak terasa waktu
telah berpacu cepat sekali. Seperti kuda-kuda perang saat masa kekhalifahan.
Saat tanah air yang pasti hanya satu, tanah air dari pejuang fisabilillah.
Tetapi kadang saat aku tengok jam bulat di dinding atau jam tanganku yang memutih,
bisa-bisanya waktu terasa melambat. Jarum pendek dan jarum panjangnya memang berpindah
ke angka selanjutnya namun seakan keduanya hanya berjalan di tempat itu-itu
saja. Semua berbanding terbalik dengan detak jantungku. Yang kian hari kian
menggerakkanku untuk lebih banyak bemunajat kepada Allah Illahi Rabbi. Karena
ia sedikit banyak lelah jua menunggu belahannya yang akan dapat membuatnya
berirama bersama-sama, bernada beriringan, lebih tentram lebih menakjubkan. Walaupun
dalam tubuh yang berbeda dan darah yang dipompanya berbeda jua. Tak masalah, seperti
halnya dua buah magnet, positif dan negatif, karena keduanya berlainanlah bila
didekatkan akan saling tarik menarik dan menciptakan arus listrik yang
fantastik.
Banyak keceriaan dan
kegalauan saat kamu belum muncul dalam hidupku. Seperti permainan ice skating
yang pernah aku alami. Pada awalnya aku gembira karena baru pertama kalinya
mengenakan sepatu skate dan menari-nari di lantai es yang licin, lalu penat jua
karena sering terjatuh pasalnya aku tidak mahir. Pada akhirnya itu hanya
menyisakan kenangan. Manis pengalaman hidup bak gula-gula kapas yang tinggal
tangkainya. Getirnya pengalaman hidup seakan black coffe yang aku seduh lalu
aku habiskan. Tidak tersisa melainkan sisa pahit dan cangkirnya. Semua itu aku lewati
sendiri bersama terpaan angin yang kadang lapang, kadang menyesakkan. Di atas
badai tipu daya dunia yang sering menggoncangku, gemuruh terus saja berdatangan.
Bisa jadi hal itulah yang membuatku lebih kuat dari karang yang kerap diterjang
gelombang. Setengahnya lagi aku terombang ambing bak buih di tengah lautan.
Ada juga masanya aku
tepekur diam, membiarkan hati berbicara. Tentang makna hidup dan tujuannya.
Lalu aku pergi berkaca pada air jernih. Bertanya tentang siapa aku, apa yang
ingin aku dapatkan dan apa yang telah aku perbuat. Aku juga kerap menyemangati
diri sendiri dalam sunyi, tersenyum memesonakan hati lalu berurai air mata. Aku
pura-pura tidak sadar bahwa semua telah basah seperti hujan mengepung kota
beberapa bulan ini. Banjir telah menggenangi rumah-rumah tanpa selokan. Jikalau
pun ada selokan namun tak bermuara ke laut, percuma. Hujan yang membasahi
mantelku saat berkendara tidak akan pernah sama dengan hujan yang membasahi
kidung nuraniku saat aku mengarungi alur cerita ini. Namun semua itu bukanlah
hal yang berarti nanti saat kamu datang membawa hadiah terindah untukku seorang.
Sebelum itu semua tentu
ada banyak konsekuensi yang harus kita tempuh. Tidak ada yang mengatakan
bersatu itu mudah. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses
panjang. Walaupun tak sepanjang lantunan doa yang tertanam dalam azzam kita.
Doa yang sedari dulu kita bisikkan kepada bumi disaat sujud maupun doa yang selalu
kita teriakkan sekencang-kencangnya dalam sanubari. Ya, proses itu tidak mudah
namun tidak pula sesulit yang setan tujukan yang membuat kita selalu was-was
dan tak kan pernah berani untuk memulainya.
Mengapa tidak mudah?
Karena kita saat ini bukanlah pecundang yang hanya ingin dapat seekor buruan.
Sekali tembak lalu binasa. Sekali-kali tidak. Karena tujuan kita terlalu mulia
untuk diwujudkan. Kita sama-sama menginginkan cinta-Nya. Cinta adalah ridha.
Ridha-Nya yang membawa ke surga-Nya. Hal yang tiada bandingannya di dunia.
Hanya ada di akhirat sana. Namun, tak bisa dipungkiri juga tujuan kita lainnya
adalah cinta diantara kita berdua. Cinta yang dicintai-Nya sehingga Dia
mencintai kita dan ridha pada kita berdua. Alangkah indahnya cinta itu.
Itu merupakan hal yang
mengundang hati hasad yang telah tersesat untuk turut menghalangi kita. Jikalau
pun dia tidak bisa menghentikan, pasti ia akan meragukan kita apakah tujuan
kita benar-benar cinta-Nya. Membuat seakan ada hal yang tidak bisa kita terima.
Berat dan sesak dada kita jadinya. Pada nyatanya itu hanyalah batu kerikil yang
memang Allah rencanakan untuk kita perjuangkan. Semua orang toh akan mengalami
hal yang sama. Cobaan dan ujian. Bagaikan batu di jalan kehidupan. Tidak semua
jalan mulus, jalan tol saja penuh tambalan yang mengagetkan bila kita tidak
memperhatikan. Cobaan ada untuk mengelabui kita, apakah kita sanggup ataukah
terbuang. Ujian ada sebagai cara untuk mengetahui, kita sudah sejauh mana paham
akan pelajaran-pelajaran kehidupan ini. Ini khusus bagi kita yang selalu
berusaha mengikuti aturan Allah, ujian ini berat, namun hasilnya insyaAllah
adalah yang terbaik. Allah tidak akan mengecewakan kita.
Ingatlah kita telah
melewati ribuan batu besar sepanjang perjalanan usia kita, sebanyak itu
bukankah hari ini kita bisa melewatinya? Batu-batu besar itu tentu sedikit
banyak menyadarkan kita bahwa kita harusnya sudah mengerti betapa pentingnya
menyandarkan semua keinginan pada Sang Khalik. Hanya Dia Yang Mahamengetahui
lagi Mahamenguasai. Dia mengetahui mana yang baik buat kita. Dia menguasai
hati-hati kita.
Mengapa sebenarnya
mudah? Ya karena yang membuat sulit tadi pada dasarnya ada dalam diri-diri
manusia saja. Entah itu dalam benakku, benakmu, atau pikiran keluarga kita. Allah
sudah berjanji akan menolong hamba-Nya yang meminta, apatah lagi yang
bermunajat untuk bersatu karena cinta-Nya. Bagaimana mungkin Allah lupa padahal
Dia Mahamengingat, Mahamengasihi. Allah Mahakaya, Mahapemurah, kita minta dunia
dan seluruh manusia minta isi dunia juga, lalu jika Allah mau, Allah bisa
berikan karena Kekuasaan dan Kekayaan-Nya memang tidak terhingga. Jika Allah
ridha, semua bisa-bisa saja terjadi. Intinya Allah akan menolong hamba-Nya yang
memiliki kemauan dan tekad, dengan syarat diusahakannya lalu serahkan
keputusannya pada Allah. Semua kekayaan itu milik Allah. Hanya dititipkan-Nya
pada manusia sebagian kecil saja. Itu pun titipan, seyogyanya pula manusia
berbagi, karena harta benda mereka tak kan pernah jadi hak milik seutuhnya.
Masalah rezeki, aku
hanya kurang mampu menerjemahkan betapa semuanya pasti akan mengalir saja. Disini,
aku sudah biasa hidup sederhana, dimana bila melihat ke atas tentu banyak yang waah..
tapi melihat ke bawah sungguh selalu membuatku puas akan dunia ini. Bagaimana
mungkin kita akan berpesta di atas kebodohan kita bahwasanya hal itu dibenci
oleh-Nya. Hanya saja, kita perlu berbagi kebahagiaan dan melihat siapa saja yang
patut datang mengantarkan doa dan restunya, yang dengan kehadiran mereka
hilanglah gundah dan indah masa depan yang merekah.
Sampai pada bait ini,
semua baik-baik saja. Akan tetapi mungkin ada rasa ingin memiliki, seutuhnya.
Tanpa embel-embel masa lalu, maupun ketakutan terhadap orang baru di masa
depan. Ini hak Allah. Hanya masalah waktu dihadapan kita menjadi tantangannya.
Entah kita yang akan menebasnya ataukah kita yang akan terpenggal olehnya.
Menginginkan yang
terbaik sejalan dengan menjadi yang terbaik. Yang baik adalah untuk yang baik,
walaupun sama-sama pernah jahat dengan jalan yang berbeda. Menyadari kita baik
dan menjudge orang lain jahat, itu sudah bisa dikategorikan jahat. Yang baik
akan dipertemukan dengan yang baik. Yang baik akan dipersatukan dengan yang
baik. Jodoh adalah cerminan diri. Apakah ia baik atau tidak. Memperbaiki dan
memantaskan diri, niatkan karena Allah.. Semoga Allah segera memberikan jalan
pada niat baik kita...
Comments
Post a Comment