Resensi
Judul buku: Burung Rantau Pulang ke
Sarang
Pengarang: Teuku Azhar Ibrahim
Penerbit: Bandar publishing
Halaman: 355 halaman
Harga: Rp 64.000
Buku ini berisi tentang cinta dan
pengorbanan, kesabaran dan penantian yang digambarkan dengan sangat
islami. Bahasa yang digunakan sedikit banyak memakai bahasa daerah
Aceh. Terutama penggunaan nama dan istilah-istilah yang di ungkapkan
penulis. Bacaan yang agak berat namun dapat membuat penasaran
pembacanya. Latar yang terdapat dalam buku ini seputar kehidupan
Dayah(pesantren) di kaki gunung Seulawah(Aceh).
Gambaran tentang kehidupan keluarga
Teungku Chik Dayah Seulawah yang mempunyai istri bernama Po Cut Nyak,
anak-anaknya Meutia, Hamzah serta abang tirinya Chitwoa yang lahir
dari istri pertama Teungku Chik saat di Tiongkok. Meutia sempat tidak
bisa menerima kehadiran Chitwoa karena ia merasa sudah dibohongi oleh
abu, panggilannya untuk ayahnya. Di sisi lain Chitwoa bertanya-tanya
mengapa Teungku chik yang notabenenya bijak itu menyia-nyiakannya dan
ibunya di Tiongkok. Bibi Halima, yang membesarkan dan merawatnya pun
tidak pernah menceritakan tentang ayah kandungnya, Teungku Chik.
Di tengah prahara yang meliputi Dayah
Seulawah, Gam Manyak, murid kepercayaan Teungku Chik, berhasil
mendapatkan cinta suci Meutia yang merupakan incaran dari kebanyakan
santri-santri Dayah Seulawah. Pernikahan Gam Manyak dengan Meutia
diumumkan usai shalat jumat. Walaupun Meutia merupakan putri Teungku
Chik, namun tidak ada arak-arakan kemewahan menyambut hari sacral
tersebut. Kenduri hanya memotong dua ekor kambing. Demikian juga
mahar yang diberikan oleh Gam Manyak kepada Meutia hanya sebuah
cincin seharga tiga keping uang emas. Kisah percintaan mereka sarat
dengan pengorbanan.
Permulaan bulan Dzulqaidah saat itu,
Teungku Chik telah sampai di Mekah, dengan niat haji wada’
sekaligus untuk menjenguk putranya, Hamzah, yang telah merantau
menuntut ilmu selama sepuluh tahun lebih. Ia mencari sampai ke
pelosok-pelosok kota dan bertanya tentang keberadaan anak
kebanggaannya itu. Orang-orang yang menuntut ilmu ke Mekkah biasanya
tak puas hanya menimba ilmu di negeri tempat turunnya wahyu itu.
Diperkirakan bahwa Hamzah pergi ke Samarkhan. Ternyata di Mekah,
Hamzah dikenal dengan nama Asfur, bukan Hamzah. Ia dinamai begitu
karena cara bicaranya yang agak cepat. Arti Asfur itu sendiri adalah
burung pipit. Selama di perantauan Asfur bergabung dengan kabilah
Kaab Bin Zahir, seorang penyair yang membela Rasulullah. Keadaan
Teungku Chik kian hari semakin payah seiring dengan usianya. Akhirnya
kedatangan Asfur alias Hamzah yang ditunggu-tunggu telah tiba. Namun
Teungku Chik sudah terkulai lemah di pembaringan. Hamzah berlutut
dihadapan ayahnya,merangkul tubuh lemah Tengku Chik , airmatanya
menetes, haru dan rindu yang mendalam. “Hamzah…, pulang nak ……!”
seru Teungku Chik dan rangkulannya pada Hamzah pun terlepas. “ La
ila ha ilallah” bisik putranya dan ia mengeja ucapan tersebut.
Beberapa waktu kemudian meninggallah Teungku Chik. Hanya tangisan
menyesakkan yang tersisa di dada Hamzah. Setelah jenazah Teungku Chik
dimakamkan, ia pulang ke Dayah Seulawah. Prahara di Dayah ternyata
kian merumit seperginya Tengku Chik ke Mekah. Chitwoa atau Asad,
mengusir Meutia dan Gam Manyak. Setibanya Hamzah di Dayah Seulawah,
ia tidak menemukan siapa-siapa. “Ah.. makhluk apa yang telah
membawa lari penduduk dayah? Atau mereka burung-burung rantau pulang
ke sarang? Tapi adikku di sini sarangnya. Aku akan menunggu, setiap
yang pergi pasti akan pulang.”
Oleh: Nia Nurul Syahara.
Comments
Post a Comment