Ini
adalah sebuah kekecewaan. Yeah, aku merasa kecewa pada sistem kerja
prodi bahasa di universitasku. Dan aku pikir bukan hanya aku tapi
kami mahasiswa prodi ini. Soal manajemen pengurusan kartu rencana
studi, beasiswa, nilai-nilai dan lain-lainnya banyak. Sudah empat
semester kami selalu direpotkan oleh bapak pegawai itu. Padahal
beliau sudah ditugaskan dalam kurung diberi amanah tutup kurung,
untuk mengurus segala perihal mahasiswa prodi. Yang terjadi malah
sebaliknya. Ia bukan hanya membuat kami repot tapi sakit hati dengan
sikap dan kebiasaannya yang selalu membuat risih mata dan jiwa kami.
Merokok di dalam ruangan, datang ke kantor tidak tepat waktu,
menaikkan kaki ke atas meja dan tidak mengindahkan perkataan kami.
Waktu
panjang yang memang sudah ditargetkan universitas untuk pengurusan
nilai-nilai ulangan akhir semester masih juga belum dipublikasikan.
Selama seminggu ini aku dan Rani bolak-balik ke kantor prodi tapi
tidak juga mendapatkan hasil yang memuaskan yaitu keluarnya
nilai-nilai kami yang emang udah dipastikan anjlok semester ini.
Padahal seharusnya pekan ini adalah waktu yang ditetapkan oleh
universitas untuk mengumumkan hasil ulangan akhir semester. Jadilah
kini kami masih harap-harap cemas duduk manis di depan prodi menunggu
hasil ulangan yang “juga tak adil” itu diumumkan. Kenapa aku
bilang tidak adil? Mungkin karena presepsiku begini: Seharusnya
ulangan itu diawasi ketat oleh dosen yang bersangkutan, ini malah
dibiarkan saja mahasiswanya amburadul. Walhasil banyak penyalahgunaan
yang terjadi atas kepercayaan dosen yang amat berlebihan ini. Itu
dia, nyontek sudah tidak dapat dihindari. For you know, nyontek itu
kan bukan terjadi karena ada niat pelakunya saja tapi karena ada
kesempatan untuk pelakunya melakukan tindakan tersebut. Dan satu
lagi, nyontek itu juga bukan hanya yang berencana saja, tapi kadang
ada juga nyontek yang tidak terencana terlebih dahulu. Pokoknya yang
namanya tindakan kriminal itu asal-muasalnya hampir sama.
Ciri-cirinya juga sama. Sudah dapat dipastikan dan yaaa… memang
begitulah kehidupan mahasiswa jaman sekarang ini.hixhix..T_T
Oia,
aku belum memperkenalkan diri, namaku Dikara Anjany. Aku belum genap
berusia 20 tahun. Seperti kebanyakan keturunan Sitti Hawa yang
lainnya, aku sangat mmperhatikan penampilan. Well, semua hal yang
mendukung penampilan akan aku perhatikan. Termasuk tutur kata, cara
bicara, cara berpakaian, aksesoris, prestasi, organisasi dan lainnya
akan aku perhatikan hingga detil. Aku sebenarnya anti sekali dengan
hal yang mendetil seperti itu tetapi sejak aku masuk perguruan tinggi
ini aku mulai menyadari semua ini perlu untuk diperhatikan dan
dipedulikan. Tentu saja tentang masalah religious juga masuk
hitungan. Bahkan itu yang pertama kalinya untuk dipandang. Siapa lagi
yang peduli dengan sistim sekecil-yang ada di universitas ini-selain
para mahasiswanya sendiri? Ibu-ibu CS (baca:cleaning service)?
Sewaktu
SMA aku sudah terbiasa dengan aktivitas keorganisasian. OSIS. Aku
berkecimpung di organisasi intra sekolah sebagai wakil ketua. Cukup
membanggakan menjadi bagian sepenting itu. Sehingga dapat mengetahui
bagaimana serunya debat dengan pihak sekolah tentang masalah dana
ekskul, kegiatan pensi or more than it. Sedikit banyak itu
mempengaruhi kehidupan sosialku dan cara pandangku terhadap sesuatu.
Kembali
ke tujuan asal, aku kecewa dengan sistim kinerja prodiku dan aku
berniat melakukan kegiatan demonstrasi besar-besaran di prodi ini.
Kalau bisa aku akan minta dukungan dari mahasiswa prodi lain.
Eiiiittss, bukan-bukan-bukan karena aku lagi sensi karena “itu”,
tapi memang karena aku tidak bisa terima diperlakukan seperti itu.
Lagi pula tanggungjawab bapak itu adalah kewajibannya dan itu adalah
hak kami bersama. Tauu kan, pelecehan terhadap hak asasi manusia itu
melanggar undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga? Yah rumah
tangga di prodi ini tepatnya. Pasalnya hanya prodi bahasa inilah yang
bermasalah, sedangkan yang lain, so far so good. Aku jadi iri..
Mungkin Allah punya rencana lain untuk prodi ini agar ia bisa
berkembang dan menjadi prodi unggulan di universitas ini. Pikiranku
kadang hanyut seperti itu tapi terkadang yang lebih sering yaitu
prasangka burukku menggelayut.
Aku
tidak akan menganggap ini semua sebagai hal yang serius jikalau
permasalahan ini tidak terjadi berulang-ulang atau tidak terjadi di
masa kepegawaian sebelumnya. Banyak sekali kakak kelasku yang
mengumpat dan mengeluh terhadap sistem kerja prodi ini. Semuanya
menjadi hal yang mengganggu aktivitas akademik mereka. Baik yang
sedang KKN, PPL, SKRIPSI, de el el. Mereka kebanyakan bilang pegawai
prodi itu membuat keperluan mereka akan data-data jadi terhambat dan
bukannya mempermudah urusan mereka. Terserahlah kalau aku dikatakan
sebagai orang yang suka mengkritik atau bagaimana pun. Aku terima
dengan senang hati. Aku hanya mengungkapkan apa yang ingin
kukeluarkan. Berbagi ide-ide dan aspirasi. Ini semua berasal dari
lubuk hati yang paling dalam dan dari pikiran yang paling kecil dari
neutron, proton dan elektron yang bersembunyi di otakku. Bagian dari
mereka menyuruhku untuk melakukan ini. Aku ingin menumpahkan segala
bentuk marah, kecewa dan sakit hati kami-bukan hanya aku-terhadap
sistem kerja prodi. Jika boleh aku susun masalahnya berasal dari
pemilihan yang salah. Entah mengapa orang “sebaik” beliau di
tempat semulia ini. Pekerjaan di prodi ini membutuhkan pengorbanan
dan fokus penuh Pak, bukan hanya orang yang butuh dana dan hanya hobi
ongkang-ongkang kaki menunggu bawahan mengerjakan tugas-tugasnya.
Tapi anda harus melakukannya sendiri, mengetik datanya, menyusun
menjadi lembaran-lembaran yang mudah untuk disebarkan ke mahasiswa
dan memberikannya kepada para mahasiswa-atau paling tidak ditempel di
papan pengumuman. Karena baik itu data statistik maupun nilai-nilai
ulangan sangat penting. Baik untuk mengurus beasiswa, pertukaran
mahasiswa, untuk mahasiswa bermasalah dalam nilai-nilainya dan
terlebih untuk mengurus kartu rencana studi semester berikutnya yang
sudah di depan mata.
Bulan
depan sudah masuk semester baru tetapi kami belum juga mendapatkan
nilai-nilai tersebut. Aku dan Khairani, classmate-ku, sangat
keteteran. Pak Diko, pegawai prodi yang ku ceritakan tadi, belum juga
memberikan hasil ulangan tersebut padahal kata dosen-dosen mereka
sudah memberikannya kepada jurusan kami.
“Assalamu’alaikum
Pak.. bagaimana nilai-nilai uas kami kemarin? Sudah ada kan Pak?”
tanyaku seketika ku temui ia di tempat duduknya di depan komputernya.
Entah aku yang salah mengajukan pertanyaan atau kah ia yang tidak
mendengarnya, tidak ada reaksi yang berarti darinya. Aku mengulangi
pertanyaanku dan ia malah pura-pura tidak mendengarku. Dan akhirnya
dari pada puasaku batal atau minimal tercemari olehnya, aku langsung
nyelonong pergi dari ruangan itu dan menarik tangan Khairani keluar.
“Loh..loh..kok
kita malah keluar Diy?” Tanya Rani sesampainya kami di luar.
“Aku
ga tahan diperlakukan seperti itu Ran, kita tuh kuliah bayar dan kita
udah cukup repot dengan masalah perkuliahan kita. Setidaknya dia
ngasih kita bantuan dengan cara mempermudah urusan akademik kita
ini.” Jawabku sedikit emosi.
“Iyaa
Diy,, tapi ya kamu jangan terlalu emosi begitu donk, sabar aja lah..”
Rani menyamakan langkahnya dengan langkahku yang agak panjang-panjang
dan mencoba menenangkanku.
“Ini
untuk yang terakhir kalinya Ran, aku mau ngurus beasiswa dan
melengkapi surat lamaran kerja part time-ku, jadi aku benar-benar
butuh nilai-nilai itu. Kamu tahu kan semester kemarin aku ga bisa
ikut pertukaran mahasiswa ke Bandung hanya karena persyaratannya
masih kurang dan itu karena prodi kita lola.” Aku duduk dan
memasukkan kunci motor.
“Ya
udah,, jadi kamu maunya kita gimana? Demo?” Rani duduk di atas
motor dan kami pun melaju kearah fakultas sastra dan bahasa.
“Itu
dia, aku akan bilang ke BEM untuk masalah ini. Kita akan demo di
prodi. Aku sudah sering menemui ketua jurusan dan juga ga
ditenggepin. Mau ga mau demo.”
“Okelah.
Aku dukung kamu Diy.. tapi kalo terlalu panas ntar aku ga jadi ikut
ahh…heheheh.” Kulihat Rani terkekeh meringankan suasana. Aku pun
ikut tersenyum.
Sorenya
aku langsung rapat d BEM dan memotivasi kawan-kawan. Mereka tidak
lantas setuju karena notabenenya ketua prodi bahasa khusus itu sangat
berpengaruh di universitas ini. Mereka takut akan diskorsing, diberi
sanksi akademik lain atau malah di DO bila melakukan demo. Aku hampir
berputus asa. Kak Hasan, ketua BEM, membujuk kawan-kawan untuk dapat
berpartisipasi dan setuju atas aksi demo yang ku rencanakan. Tiga jam
kemudian baru diketuk palu tiga kali tanda bahwa aksi ini disetujui
semua anggota BEM.
Sekarang
aku sudah agak tenang. Segala persiapan aksi demo telah dirancang
sedemikian rupa dan kami tinggal persiapan diri saja. Aksi akan
dilakukan di depan kantor prodi bahasa.
Hari
yang ditunggu-tunggu telah tiba. Sekitar tujuh puluhan mahasiswa
prodi bahasa berdiri dengan almamater abu-abu. Mereka berkampanye
dengan spanduk dan kertas-kertas karton bertuliskan PERBAIKI SISTEM
KERJA PRODI KAMI! GANTI PEGAWAI PRODI SEKARANG JUGA!! JANGAN ASAL
PILIH PEGAWAI! BUDAYA NEPOTISME HARUS SEGERA DIBASMI! SERAHKAN
NILAI-NILAI KAMI!BLA BLA BLA….
Dan
masih banyak kata-kata lain yang menjurus seperti itu. Demo yang kami
lakukan tidak juga mendapat perhatian dari pihak fakultas dan prodi.
Alias kami dikacangin saja. Matahari sudah sepenggalah. Kami mulai
bercucuran air keringat. Akhirnya sebagian dari kami ada yang
memberontak dan mendesak untuk masuk ke dalam prodi yang dijaga
ketat oleh security. Kondisi demonstrasi itu tidak terkendali lagi
dan seperti perang antarsuku di Kalimantan. Atau seperti Iran dan
Irak. Kami yang tidak mau kalah terang saja membela pihak kami.
Akibatnya sebuah kaca yang ada di dekat security pecah dan mereka
semakin menunjukkan muka garang kepada pihak kami. Selang beberapa
menit kemudian Dekan datang dan memberikan keputusan atas demonstrasi
kami.
“Semua akan
diperbincangkan dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Kita bisa
memecat pegawai yang memang tidak becus bekerja dan menggantinya
sesuai dengan harapan mahasiswa karena universitas kita ini
demokratis dan islami.” Bapak paruh baya berjas hitam tersebut lalu
kembali dan kami pun dibubarkan.
Setelah
dibubarkan, tidak semuanya pulang ke rumah masing-masing.
Pembesar-pembesar kami dipanggil ke ruangan Dekan untuk mengatakan
aspirasi mereka. Lantas ketua BEM dan wakilnya menghadap. Mereka
mengatakan semua hal yang sudah menjadi keinginan mahasiswa prodi
bahasa yaitu untuk segera memecat pegawai prodi yang dimaksud.
Beberapa hari kemudian
terjadilah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara hormat oleh
dekan fakultas bahasa tersebut. Dan terpampang di pusat informasi
bahwa dicari pegawai baru dengan kriteria yang tepat: bertanggung
jawab, amanah, santun, ulet dan telaten serta dapat menjadi pegawai
yang berkualitas dalam moral dan agamanya. Sehingga akan menjadi
contoh bagi mahasiswa.
“Assalamu’alaykum
Pak. Bapak pegawai baru yaa? Alhamdulillah saya dengar sekarang ga
ada lagi konflik disini..”. kata Dikara sopan sambil memasuki
kantor prodi.
“Wa’alaykumussalam
warahmatullah. Ia saya baru. Alhamdulillah kalau begitu.” Seorang
berpakaian dinas langsung mengalihkan pandangannya ke arah computer
dan berusaha membenarkan kertas-kertas nilai di mejanya. “Oiya,
saya ada perlu sama kamu nanti sore, ada waktu?”lanjutnya.
“Ada
perlu apa ya Pak? Bagaimana kalau sekarang saja. Lagi pula tidak
semestinya...” aku mengerutkan dahi. Kalimat macam apa itu.
“Maksud
saya kamu ajak teman atau saudara. Ini penting.” Lelaki itu
memotong pembicaraanku.
“Oh
baiklah kalau begitu Pak. Saya akan kemari lagi nanti sore.”
Jawabku spontan, aku masih belum paham.
“Saya
tunggu kamu di masjid kampus jam 3.” Kulihat ia memandang jam
tangan hitam di tangan kirinya.
“Baiklah.
Assalamu’alaykum..saya pamit Pak.” Aku segera beranjak keluar.
“wa’alaykumussalam..”
Undangan atas pertemuan
itu menyisakan keganjalan dalam hatiku. Aku tidak menyangka orang
semuda dialah yang menjadi pegawai pengganti orang yang selama ini
aku benci. Aku memperkirakan bahwa usianya masih dua puluhan atau
tiga puluhan dan sepertinya single.
Ternyata
ia adalah seorang fresh graduate dari prodi yang sama denganku.
Muhammad Alfata namanya, ia melamar kerja dan diterima. Ia adalah
aktivis kampus serta pengelola organisasi-organisasi islam dan
kemasyarakatan. Aku tidak menyangka dari mulut ke mulut namaku,
Dikara Anjany tidak dapat diketahuinya. Padahal aku saja tidak
mengenal orang seterkenal ia. Kata mereka akulah sang pendorong untuk
diadakannya demonstrasi atas ketidakbecusan pegawai prodi tersebut.
Lantas aku terkenal bukan hanya sebab itu saja melainkan juga karena
kualitas dan kuantitas kinerjanya di prodi itu sebagai mahasiswa
maupun sebagai pengurus himpunan mahasiswa prodi dan fakultas.
Mungkin telinga Fata agak gerah mendengar hal tersebut dan ia
mencari-cari siapa aku, gadis bernama Dikara tersebut secara
diam-diam. Ia melakukan tajassus terhadapku. Hampir semua aktivitasku
ia ketahui dan ia meminta seorang temannya untuk mencari tahu
tentangku. Katanya ia merasa jatuh hati ketika melihat senyumku saat
pertama kali memandangku. Ia mengatakan perasaanya dan berniat
mengkhitbahku ahad besok. Perasaanku seperti es campur. Semoga ini
salah satu hikmah dari ketidakbecusan prodi kemarin-kemarin.
Comments
Post a Comment